Shafiyah binti Huyay adalah salah satu istri Nabi Muhammad (ﷺ) yang berasal dari suku Bani Nadhir. Ketika dinikahi Rasulullah, ia belum genap berumur 17 tahun atau baru saja berumur 17 tahun. Ia mendapatkan gelar “Ummul mu’minin”. Ayahnya adalah ketua suku Bani Nadhir, salah satu Bani Israel yang bermukim di sekitar Madinah.
Genealogi
Shafiyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya bernama Barrah binti Samawal dari Bani Quraizhah. Shafiyah dilahirkan pada Rabiul Awal, sepuluh tahun sebelum hijrah.
Kehidupan Awal
Shafiyah lahir di Madinah dan mempunyai seorang ayah bernama Huyay bin Akhtab, kepala suku Yahudi, Banu Nadhir. Ibunya, Barra binti Samawal, berasal dari Bani Quraidhah. Dia merupakan cucu dari Samawal bin Adiya. Menurut sebuah sumber, dia menikah dengan Sallam bin Mishkam, yang mana kemudian keduanya bercerai.
Ketika Bani Nadhir diusir dari Madinah oleh Nabi Muhammad pada tahun 625 karena berkhianat dalam perjanjian, keluarganya pun bermukim di Khaybar, sebuah oasis dekat Madinah. Ayahnya dan saudara laki-lakinya lalu pergi dari Khaybar untuk bergabung dengan pasukan Makkah dan Baduy dalam perang menghadapi pasukan Nabi Muhammad di Madinah pada Pertempuran Khandaq. Ketika orang-orang Makkah mundur, Nabi Muhammad pun mengepung Banu Qurayza. Setelah kekalahan Banu Qurayza di tahun 627, ayah Shafiyah, Huyay bin Akhtab yang merupakan musuh lama Nabi Muhammad, ditangkap dan dieksekusi atas perintah beliau.Di tahun 627 M atau awal 628 M, Shafiyah menikah dengan Kinanah bin al-Rabi yang merupakan bendaharawan Bani Nadhir.
Pertempuran Khaybar
Pada tahun 628 M, umat muslim menaklukkan berbagai suku yahudi (termasuk Banu Nadhir) pada pertempuran Khaybar. Orang-orang yahudi menyerah, dan diperbolehkan untuk tetap menempati Khaybar dengan syarat mereka wajib memberikan setengah dari hasil panen mereka ke Nabi Muhammad.Tanah tersebut sendiri menjadi bagian dari wilayah Islam. Namun perjanjian ini tidak mencakup Bani Nadhir yang tidak diberi ampun.
Pernikahan dengan Nabi Muhammad
Pasca perang Khandaq, Shafiyah menjadi salah satu tawanannya kaum muslimin. Salah seorang sahabat Nabi Muhammad, yaitu Dihyah, meminta kepada Nabi supaya dirinya diperbolehkan mengambil salah satu tawanan untuk dijadikan budak olehnya. Nabi pun mengizinkan dan Dihyah mengambil Shafiyah. Mengetahui hal itu para sahabat Nabi lainnya melapor kepada Nabi, bahwa Dihyah telah mengambil putri dari kepala suku Bani Nadhir yang kecantikannya begitu luar biasa dan belum pernah mereka lihat sebelumnya. Nabi pun memanggil Dihyah dan mengambil Shafiyah untuk diri beliau. Nabi kemudian mengirimkan Shafiyah ke ibu dari Anas bin Malik untuk dihiasi. Dan malamnya dikembalikan kepada Rasulullah untuk beliau nikahi. Shafiyah mengatakan bahwa dirinya belum genap berusia 17 tahun atau baru saja berusia 17 tahun pada saat ia dibawakan ke kamar Nabi.Kekurang-pastian ini dapat disebabkan oleh dirinya mengetahui pada bulan dan tahun berapa ia dibawakan ke kamar Nabi, namun tidak tahu pasti pada tanggal berapanya.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlibat dalam Perang Khaibar (pada bulan Muharram tahun tujuh Hijriyah), Shafiyyah ketika itu jadi tawanan perang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pada Shafiyyah pilihan, masuk Islam dan menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah merdeka dan kembali ke kaumnya. Ketika itu Shafiyyah memilih untuk masuk Islam dan menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada tahun tujuh Hijriyah tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Shafiyyah binti Huyay. Ketika menikah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, umur Shafiyyah sekitar 17 tahun.
Shafiyyah terkenal cerdas, cantik, punya kedudukan mulia. Ketika ia berpindah ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mendapati ada dua hizb (kelompok), yaitu hizb ‘Aisyah, Saudah dan Hafshah; lalu hizb Ummu Salamah dan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya. Shafiyah adalah perempuan yang cerdas. Ia termasuk perempuan awal yang memeluk Islam. Ia mengetahui kehadiran seorang Yahudi bani Quraizhah yang sedang mengelilingi benteng. Instingnya yang kuat membuatnya mengerti maksud dan tujuan Yahudi tersebut. Ia merasa kaum perempuan Mukmin sedang dalam bahaya. Pada kenyataannya, kaum perempuan dan anak-anak tak sedang dalam perlindungan. Rasulullah SAW dan para laki-laki sedang pergi berperang. Namun, ia tak kalah cerdik. Setiap ada orang yang datang, Shafiyah menguatkan keberaniannya. Ia mengambil tongkat, lalu turun dari benteng untuk memukul Yahudi yang mengelilingi benteng tadi hingga meninggal. Tekadnya untuk melindungi kaum perempuan dan anak-anak menguatkan keberanian perempuan dari bani Abdul Muthalib ini. Perbuatan Shafiyah membuat utusan kaum Quraizhah tak pernah kembali. Ini seolah-olah memberikan pesan bahwa di benteng itu selalu ada sekumpulan kaum laki-laki yang sedang melindungi dan menjaga kaum perempuan beserta anak-anak. Shafiyah berhasil membuat Yahudi bani Quraizhah terbirit-birit.
Kekuatan Shafiyah tak hanya tampak pada Perang Khandaq. Saat Perang Uhud, kaum Muslimin bersedih akibat perlakuan kaum Quraisy kepada Hamzah, kakak Shafiyah yang juga paman Rasulullah SAW. Rasulullah meminta Zubair, putra Shafiyah, untuk pulang dan melarang ibunya melihat jasad Hamzah. Ia takut perasaan perempuan itu akan kacau balau.
Zubair menaati perintah Nabi Muhammad SAW. Ia berkata kepada ibunya, “Wahai ibuku, Rasulullah SAW menyuruhmu pulang.”
Shafiyah menjawab, “Mengapa? Aku telah mendapat kabar yang menimpa kakakku. Insya Allah aku ridha dan bersabar.”
Shafiyah akhirnya melihat jasad Hamzah. Ia tidak memedulikan kondisi jasadnya. Ia mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.”
Shafiyyah meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun 50 Hijriyah pada masa khilafah Mu’awiyah. Inilah pendapat jumhur ulama, sebagaimana disetujui pula oleh Ibnu Hajar dengan menukil perkataan Al-Waqidi, disebutkan dalam Al-Ishabah (4:348). Usianya ketika meninggal dunia adalah 60 tahun.
Para ulama sepakat bahwa Shafiyyah binti Huyay dikuburkan di Baqi’. Ketika meninggal dunia, ia meninggalkan harta peninggalan sekitar 100.000 dirham dalam bentuk tanah dan barang-barang (sekitar 3 Milyar, pen.). Ia telah mewasiatkan sebelumnya wafatnya kepada saudara laki-lakinya yang masih beragama Yahudi, bahwa sepertiga hartanya untuknya. Awalnya, para sahabat tidak mau menjalankan wasiat tersebut, namun akhirnya dengan saran dari ‘Aisyah wasiat tersebut tetap dijalankan.